Oleh Nini Avieni
Memperingati Hari Pendidikan Nasional
..long live education..
Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) yang telah disahkan menjadi Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) Undang – undang No. 9 tahun 2009, dibatalkan dan diganti menjadi usulan peraturan pengganti perundang-undangan dan Perubahan Peraturan Pemerintah No.17 tahun 2010 tentang pengelolaan penyelenggaraan pendidikan.
Baiklah, mari kita bahas pelaksanaan pendidikan tinggi di Indonesia. Selama beberapa dekade, pembiayaan operasional perguruan tinggi negara dijamin oleh pemerintah. Sesuai dengan pasal 31 UUD 45, baik sebelum atau sesudah dikembangkan menjadi empat ayat, bahwa pada intinya seluruh warga negara Indonesia, baik tua muda, miskin kaya, bodoh pintar, berhak untuk mendapatkan pendidikan dan penanggung penyelenggaraan tersebut adalah pemerintah dengan biaya yang dibebankan di APBN.
Tetapi UU BHP tersebut seakan membalikkan fakta bahwa perguruan tinggi adalah lembaga pendidikan nirlaba dan pemerintah sebagai penyelenggaranya. Mari kita lihat isi dari UU BHP tersebut yaitu menempatkan satuan pendidikan sebagai subjek hukum yang memiliki otonomi luas, akademik maupun non akademik, tanpa khawatir lagi dengan kooptasi birokrasi.
Otonomi yang diberikan dikunci oleh Undang-Undang BHP harus dilandasi oleh prinsip-prinsip seperti nirlaba, akuntabilitas, transparan, jaminan mutu dan seterusnya yang memastikan tidak boleh ada komersialisasi dalam BHP. BHP memastikan bahwa komitmen pemerintah untuk membantu lembaga pendidikan tidak pernah berkurang bahkan bertambah besar (www.dikti.go.id,2008).
UU BHP juga mengatur 7 (tujuh) perguruan tinggi negara menjadi berpola Badan Hukum Milik Negara (BHMN), yaitu perguruan tinggi yang bersifat korporasi dan mandiri dalam mengatur pendanaannya. Sedangkan perguruan tinggi negara lainnya dapat menganut pola Badan Layanan Umum (BLU) yang sistemnya sama dengan layanan terhadap umum seperti halnya rumah sakit.
Fakta yang terjadi saat ini adalah semakin melemahnya akses masyarakat menengah ke bawah untuk mengikuti penerimaan mahasiswa baru (PMB) di berbagai universitas. Hal ini terjadi karena perguruan tinggi membuka beberapa jalur penerimaan terdiri dari ujian mandiri, yang berupa ujian otonomi yang diselenggarakan perguruan tinggi sendiri; Seleksi Penerimaan Mahasiswa Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) yaitu ujian PMB yang diselenggarakan nasional; dan penelusuran bibit unggul/daerah, yang dulunya bernama Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK).
Calon mahasiswa agar dapat memastikan dirinya diterima harus mengikuti beberapa jalur penerimaan tersebut, yang berarti harus mengeluarkan uang pendaftaran lebih banyak. Atau bila akan memperbesar peluang penerimaan harus menyumbang dana pendidikan lebih besar.
Pihak perguruan tinggi menyatakan bahwa bentuk korporasi pendidikan tinggi dapat dilaksanakan mengingat dana yang diberikan pemerintah hanya 15 s.d. 60% dari total operasional yang ada (Kompas, 3 Mei 2010). Dana yang lain didapatkan dari biaya masyarakat (SPP, sumbangan pendidikan, dll.), serta dana hibah dan penelitian bekerja sama dengan instansi lain baik dari dalam maupun luar negeri. Mengingat keterbatasan dana tersebut, perguruan tinggi cukup kesulitan untuk melaksanakan pengabdian berdasar Tri Dharma Perguruan Tinggi (penelitian, pendidikan, dan pengabdian pada masyarakat).
Solusi sederhana yang saya pikirkan untuk dapat mengentaskan permasalahan ini:
- Sebarluaskan pendidikan tinggi dalam bentuk universitas terbuka (UT). Sejauh ini UT dapat menjembatani hambatan fisik dan waktu untuk bertatap muka dalam perkuliahan klasikal terutama untuk ilmu sosial. Dengan adanya UT, biaya operasional seperti listrik, air, gedung sebagai saran pertemuan, alat-alat kantor dapat ditekan sedemikian rupa, dengan asumsi pengadaan modul dan sarana online internet agar dapat bertatap muka dengan dosen dan mahasiswa lain lebih murah (perlu adanya penelitian lebih lanjut)
- Tingkatkan kerja sama pendidikan dengan instansi dan industri, baik dari dalam maupun luar negeri, negeri maupun swasta, sebagai bentuk tanggung jawab sosial Corporate Sosial Responsibility-CSR. Hal ini mempunyai dampak menguntungkan bahwa lulusan perguruan tinggi akan mudah diserap oleh instansi atau industri yang membutuhkan karena sebelumnya telah ada hubungan kerjasama yang baik.
- Menjalin hubungan lebih erat dengan negara-negara yang maju pendidikannya untuk lebih banyak memberikan beasiswa kepada mahasiswa Indonesia tanpa harus kehilangan nasionalisme bangsa. Bagi pendidikan pasca sarjana, beasiswa yang diberikan tidak sebatas kepada tenaga peneliti dan dosen tetapi juga kepada para profesional, mengingat kemajuan perekonomian negara juga banyak digerakkan oleh para profesional tersebut.
Jadi jangan biarkan pendidikan tinggi kita berjalan tanpa haluan yang jelas dari negara.
Referensi:
Irwandi, Pengesahan Undang-Undang BHP, www.dikti.go.id, Desember 2008
Kompas, Masuk PTN Makin Berat, Senin 3 Mei 2010
Sularto, ST, Pembatalan UU BHP: Konsep Dulu baru Peraturan, Kompas, Senin 3 Mei 2010